Aku terbaring di atas ranjang, sendiri, di suatu malam yang gelap dan
sunyi. Aku hanya membolak-balikkan badanku di atas kasur, mencoba
mencari posisi yang nyaman bagiku untuk tidur. Tubuhku sudah sangat
lelah, namun entah mengapa, aku tetap tak bisa tidur. Ada sesuatu
tentang malam ini yang membuatku merasa sama sekali tidak nyaman. Aku
terus berguling di atas tempat tidur hingga akhirnya menemukan posisi
yang cukup enak buatku untuk terlelap.
Aku menutup mataku, namun tak ada perbedaan. Terlalu gelap di dalam
kamarku untuk bisa melihat sesuatu. Jadi kupikir butuh waktu bagi mataku
untuk terbiasa dengan kegelapan. Aku terbaring di sana, tak bergerak,
di tengah malam yang hitam pekat. Tubuhku mulai rileks dan pikiranku
kosong, dan aku benar-benar siap untuk istirahat. Namun kesunyian itu
seketika musnah dan benakku langsung dibanjiri dengan bayangan
menakutkan ketika suara itu terdengar.
Tok ... tok ...
Tak diragukan lagi itu adalah suara sesuatu mengetuk jendela kaca. Tapi
tidak, tidak mungkin ada orang yang mengetuk jendela kamarku dari luar!
Siapa orang yang hendak membangunkanku malam-malam begini? Berpikirlah
dengan logis. Jika seseorang ingin mencuri di rumahku, mengapa ia
terlebih dahulu mengetuk jendela? Mereka cukup menyelinap masuk ke dalam
rumah dengan sehening mungkin. Mustahil mereka mengetuk!
Tak ada monster di dunia ini. Aku bisa saja menengok ke arah jendela
agar membuat hatiku sedikit tenang, namun aku menghadap ke arah yang
berlawanan dari jendela Dan jujur, aku takut akan melihat hal yang
paling aku takutkan berdiri di luar jendela, memandangiku. Namun, apa
itu? Apa mungkin itu hanya burung yang terbang menabrak jendela? Tidak,
itu sama sekali tidak realistis. Apakah mungkin ada sekelompok anak yang
mengerjaiku malam-malam begini, mengetuk jendela dari luar sambil
tertawa terpingkal-pingkal? Mungkin saja. Atau bahkan mungkin ini semua
hanya imajinasiku? Mungkin aku mendengar suara angin di luar dan
mengasumsikannya sebagai suara ketukan di jendela?
Tok ... tok ....
Tidak, itu jelas bukan imajinasiku! Anak-anak sial itu benar-benar keras
kepala. Mereka tidak mau berhenti hingga melihatku bangun karena gusar.
Mungkin anak-anak dengan selera humor yang sedikit sakit itu sedang
menungguku di luar. Mungkin mereka akan memecahkan kaca jendela dan
menyerangku. Tidak! Jangan menjadi paranoid seperti ini! Lagipula,
mereka di luar, dan aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca
jendela pecah, aku aman. Monster itu tidak ada. Lagipula, aku belum
bergerak sama sekali. Mungkin saja anak-anak itu menganggap aku sudah
tertidur lelap dan akan meninggalkanku sendiri.
Tok ... tok ....
Tidak! Itu bukan anak-anak! Tidak ada seorang anakpun yang akan menunggu
selama ini untuk mendapatkan reaksi dari seorang pria yang tinggal
sendirian seperti aku. Mereka pasti akan bosan dan berpindah ke rumah
lain untuk diusili. Namun jika bukan mereka, lalu siapa? Mengapa ada
seorang pembunuh yang mau mengincarku? Berpikir logislah! Monster itu
tidak ada. Jangan menjadi paranoid. Mereka ada di luar, aku di dalam.
Hingga aku mendengar suara jendela yang pecah, aku aman. Namun jika itu
bukan sesosok monster atau pembunuh berantai, apa yang menyebabkan suara
itu? Mungkin sebaiknya aku berpura-pura tidur dan suara itu akan
berhenti dengan sendirinya.
Tok ... tok ....
Oh Tuhan! Aku tak bisa memikirkan suara lain yang lebih kubenci di dunia
ini selain suara ketukan di kaca jendela itu! Kumohon pergilah! Biarkan
aku sendiri! Sekarang tidak ada harapan. Ia akan masuk ke sini cepat
atau lambat dan melakukan hal mengerikan terhadapku. Ambil napas
dalam-dalam. Lalu hembuskan pelan-pelan. Aku merasakan detak jantung di
dalam dadaku mulai bersantai. Monster itu tidak ada. Ingat, mereka ada
di luar. Aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah,
aku aman. Ulangi itu! Jangan biarkan ketakutan menguasaimu!
Berpura-puralah tidur dan jangan bergerak sedikitpun.
Tok ... tok ....
Mereka di luar, aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela
pecah, aku tahu aku aman. Monster itu tidak ada. Berpura-puralah tidur
dan berdoalah agar ia segera pergi.
Tok ... tok ....
Mereka di luar, aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela
pecah, aku tahu aku aman. Monster itu tidak ada. Monster itu tidak ada!
Aku mulai berbisik pada diriku sendiri, “Mereka di luar, aku di dalam.
Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku tahu aku aman. Mereka
di luar, aku di dalam. Hingga aku mendengar suara kaca jendela pecah,
aku tahu aku aman.”
Tok ... tok ....
AKU TAK SANGGUP LAGI! Aku bisa menjadi gila apabila aku terus mendengar
suara ketukan ini. Paling tidak jika aku melihat apa yang menyebabkan
suara itu, aku akan menjadi sedikit tenang. Ambil napas dalam-dalam, aku
mengulanginya untuk sekali lagi, “Mereka di luar, aku di dalam. Hingga
aku mendengar suara kaca jendela pecah, aku tahu aku aman.” Aku
mengambil beberapa napas dalam lagi, jantungku berdetak amat kencang
hingga aku serasa bisa mendengarnya.
Aku perlahan menoleh ke arah jendela.
Jantungku terasa berhenti berdetak dan aku terlalu takut untuk
mengeluarkan suara jeritan. Aku menoleh hanya untuk menemukan sesoeok
wajah pucat dengan mata hitam kelam menatapku tajam, seakan menelanjangi
jiwaku, sambil tersenyum bengis.
Selama ini makhluk itu sudah berada di ruangan ini, sambil mengetuk-ngetuk kaca jendelaku dari dalam
2.Creepypasta ini
bercerita tentang seorang anak yang mengeluhkan perilaku orang tuanya
kepada seorang psikolog yang bekerja di sekolahnya. Sang psikolog pun
membereskan masalah sang anak dengan cara yang tidak biasa ... bahkan
bisa dibilang mengerikan.
Ketika aku berumur 12 tahun, aku mengambil kesimpulan, bahwa seluruh
orang di dunia, termasuk keluargaku sendiri, membenciku. Aku bukanlah
anak yang bermasalah, namun orang tuaku memperlakukanku seolah aku anak
yang nakal.
Sebagai contoh, aku harus tiba di rumah pukul 5 sore setiap hari. Ini
jelas mengekang waktu bermainku di luar rumah. Teman2ku tak boleh
berkunjung ke dalam rumah dan aku juga tak boleh berkunjung ke rumah
temanku. Aku harus menyelesaikan semua pekerjaan rumahku begitu aku tiba
di rumah. Orang tuaku juga menolak membelikanku video games dan memaksa
aku membaca buku dan kemudian menulis laporan resensi buku itu untuk
membuktikan aku benar2 membacanya!
Walaupun semua aturan itu membuatku frustasi saat aku kecil, bukanlah
itu yang membuatku merasa sedih. Yang benar2 menyakitiku adalah
kurangnya cinta kasih yang ditunjukkan oleh kedua orang tuaku. Ibuku
adalah wanita bermulut pahit yang hanya bisa membuatku merasa bersalah
atas semua kesalahan yang aku lakukan. Ayahku hanya mengenal satu emosi:
frustasi. Satu2nya saat dimana ia berbicara padaku adalah saata ia
berteriak kepadaku karena nilai jelek yang kuperoleh.
Cukup tentang mereka, sekarang mari bicarakan psikolog sekolahku. Untuk
menjaga privasinya, marilah kita sebut dia Mr. Tanner. Seperti SMP
kebanyakan di Amerika, seorang psikolog selalu disediakan pada jam
sekolah untuk mendampingi monseling bagi para murid, baik karena masalah
emosi, akademis, sosial, perilaku, dan lainnya.
Jujur, aku tak pernah melihat ada murid yang berbicara dengan Mr.
Tanner. Setiap hari, aku akan melewati kantornya ketika aku dalam
perjalanan ke kantin dan mengintip melalui kaca jendelanya. Ia selalu
sendiri di sana, dengan kertas2 pekerjaannya.
Aku menduga anak2 lain terlalu takut untuk membicarakan masalah mereka
dengan seorang dewasa yang asing bagi mereka. Untuk alasan ini, butuh 3
minggu bagiku untuk mengumpulkan keberanian untuk menemuinya di
kantornya. Pada 2 Maret 1993, akhirnya aku memutuskan untuk membicarakan
masalahku pada Dr. Tanner. Selama istirahat makan siang, aku berdiri di
depan pintu kantornya dan mengetuk.
Melalui jendela, aku bisa melihatnya mendongakkan kepalanya, tersenyum, dan melambaikan tanganku untuk memanggilku masuk.
Ia menyambutku dengan memperkenalkan dirinya dan menanyakan namaku. Dr.
Tanner adalah seorang pria bersuara lembut yang tampaknya selalu
memancarkan kebaikan. Kurang dari 30 menit, aku curhat bertele-tele
tentang betapa kejam perlakuan orang tuaku dan bagaimana mereka tidak
memperdulikanku sama sekali. Setelah beberapa lama, suaraku mulai
gemetar dan aku berhenti berbicara. Sang psikolog mendengarkan dengan
sabar atas segala perkataanku dengan tangan terlipat sambil sesekali
mengangguk. Aku mengira ia akan mulai berbicara bahwa aku salah dan
orang tuaku mencintaiku dan bla bla bla .... namun tidak.
Dr. Tanner mencondongkan tubuhnya ke arahku sambil tersenyum dan
berkata, “Kau tahu ... aku adalah psikolog sekolah terbaik di dunia. Aku
berjanji akan memperbaikinya untukmu.
“Oke, tapi bagaimana caranya?” tanyaku.
“Aku punya caraku sendiri,” jawabku, “Aku memegang teguh kata-kataku
tadi. dalam sebulan, aku berjanji hubunganmu dengan orang tuamu akan
berubah, lebih baik. Selamanya.”
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Namun, terlebih dahulu kau
harus berjanji padaku. Kau harus berjanji bahwa kau akan kembali ke
kantorku besok sepulang sekolah dan jangan katakan pada siapapun tentang
percakapan kita hari ini. Ini akan menjadi rahasia kecil kita.”
Aku berjanji.
Hari berikutnya, aku kembali ke ruangan Dr. Tanner sepulang sekolah.
Saat itu sudah sekitar jam 4 sore ketika aku memasuki kantornya. Setelah
menyambutku dengan hangat, ia memintaku untuk duduk di depan mejanya
lagi.
Setelah duduk, aku melihat Dr. Tanner menutup tirai jendela kantornya.
“Nah,” ia tersenyum, “sekarang kita memiliki semua privasi yang kita
butuhkan.”
Kami mulai berbincang mengenai hobiku, mata pelajaran kesukaanku di
sekolah, guru yang paling kubenci, dan lain-lain. Setelah sejam
bercakap-cakap, Dr tanner menawariku soft drink.
Aku dengan gembira menerima tawarannya, menimbang bahwa orang tuaku
takkan pernah membiarkanku minum soda. Dr. Tannner menjangkau lemari es
kecilnya dan menjentikkan jarinya sebentar sebelum menaruh dua kaleng
soda dalam keadaan terbuka ke hadapanku.
Sesudahnya, kami melanjutkan percakapan mengenai keseharianku. Namun
tidak lama kemudian aku pingsan karena obat yang dimasukkan Dr. Tanner
ke dalam minumanku.
Membutuhkan waktu semenit untuk membiasakan pandanganku yang kabur begitu terbangun.
Dan ketika aku telah dapat melihat dengan lebih jelas, aku sama sekali tak menduga hal yang telah terjadi.
Aku diborgol ke sebuah ranjang dan mulutku tertutup oleh lakban. Aku
mulai segera panik dan mencoba melepaskan tanganku dari borgol itu,
namun percuma.
Mataku membuka tak percaya ketika melihat ke sekeliling ruangan. Ada
banyak poster superhero tertempel di dinding, begitu juga foto2 dari
atlit terkenal. Di tengah ruangan terdapat sebuah televisi tua dan Super
Nintendo, juga berbagai macam kaset video games tertumpuk di
sekitarnya.
Aku tak tahu apa yang harus kupikirkan. Di sini aku berada, dikelilingi
semua benda yang setengah mati diinginkan anak2 seumuranku. Aku mungkin
akan menangis bahagia jika saja aku bisa melupakan sejenak kenyataan
bahwa aku tengah dirantai di sini.
Perutku bergejolak ketika pintu terbuka dan Dr. Tanner masuk ke dalam. Ia kemudian duduk di tepian tempat tidur.
“Sekarang dengarkan,” katanya, “ingat bahwa aku ada di sini untuk
menolongmu dan aku takkan pernah menyakitimu, oke?” Dr. Tanner dengan
lembut melepaskan lakban dari mulutku dan kemudian membuka borgol di
tanganku.
Insting pertamaku adalah mulai menangis, namun ada sesuatu mengenai Dr.
Tanner yang membuatku merasa aman. Ia tersenyum kepadaku, “Kamu akan
tinggal di sini untuk beberapa lama.” Ia melanjutkan, “Dan selama itu,
kamu diperbolehkan untuk memainkan semua permainan yang ada di dalam
ruangan ini, namun hanya ketika aku ada di rumah.”
“Ketika aku meninggalkan rumah, aku perlu untuk memborgol salah satu
tanganmu di tempat tidur. Kamu masih bisa melihat televisi, namun aku
ingin kau hanya menonton channel berita ketika aku tidak ada.”
Aku duduk membisu, masih mencoba memproses semua informasi yang ia berikan kepadaku.
“Jadi,” kata Dr. Tanner sambil menepuk lututku, “Bersantailah, aku akan datang kembali saat sudah tiba waktunya makan malam.”
Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan ke tengah ruangan, dan menyalakan televisi sebelum mengunci pintu di belakangnya.
Beberapa menit berlalu sebelum aku menyadari abhwa Dr. Tanner sama
sekali tidak bercanda. Yang bisa kulakukan saat itu hanyalah bermain
Nintendo dan bermain Mario hingga malam.
Sekitar pukul 7, ia kembali ke kamar membawa dua piring kentang tumbuk
dan potongan ayam. Aku akhirnya mengumpulkan keberanian untuk bertanya
berapa lama aku akan ada di sini.
“Well, sekitar sebulan.” jawabnya, “Harus ada yang kulakukan terlebih dulu.”
Pagi berikutnya, aku terbangun karena tangan Dr. Tanner mengelus
kepalaku. “Hei, teman ... kau tak perlu bangun sekarang jika kau tidak
mau, namun aku harus memakaikan ini lagi,” bisiknya sambil memakaikan
borgol di pergelangan tanganku dan menguncinya di jeruji tempat tidur.
Aku mendongak menatapnya. Ia mengenakan kemeja dengan jas sambil membawa
tas koper. Ia tampak seperti akan berangkat kerja ke sekolah. Sebelum
pergi, ia menempatkan remote televisi di dekatku dan menyuruhku untuk
menyalakannya dan melihat acara berita.
Hal pertama yang kulihat adalah segmen “Breaking News” dimana beberapa
polisi yang tampak berpangkat tinggi berdiri di podium dikelilingi
wartawan. Salah seorang di antaranya mulai berpidato.
“Kondisi darurat telah diberlakukan di seluruh penjuru negara bagian
pagi ini. Kami telah menempatkan beberapa penyelidik lapangan untuk
menangani kemungkinan kasus penculikan. Namun hingga saat ini, belum
banyak bukti yang berhasil dikumpulkan. Saksi mata menyatakan bahwa anak
ini terkahir terlihat pukul 5 sore kemarin ...”
Aku mulai merasa mual ketika melihat fotoku terpampang di layar. Itu
adalah fotoku yang diambil dari buku tahunan sekolahku tahun kemarin.
Tulisan pada foto tersebut menunjukkan nama, umurku, sekolah, hingga
nama kota tempat tinggalku. Di bawah fotoku tertulis judul “FBI MEMULAI
PENCARIAN KORBAN dan PELAKU PENCULIKAN MASIH MISTERIUS.
Tayangan langsung berlanjut dan dua sosok yang langsung kukenali sebagai
ayah dan ibuku menanjak naik ke atas podium. Mata keduanya tampak
merah. Air mata mengalir deras dari wajah ibuku ketika ia berbicara di
depan mikrofon.
Aku tak pernah melihat sebegitu besar emosi mengalir dari dalam ibuku
sebelumnya. Ia terisak di depan kamera, terbata-bata saat mengucapkan
kalimat seperti, “Tolong kembalikan anakku padaku,” dan “Maafkan aku”,
serta “Kembalilah pulang kepada kami.”
Ketika ayahku mengambil mikrofon, aku berpikir ia masih akan sedingin
batu, namun air mata juga mengalir dari matanya. Ia memohon kepada dunia
agar membawa anaknya pulang dengan selamat dan memohon pengampunanku,
“Aku tahu aku tak pernah menjadi ayah yang baik, demi Tuhan aku sangat
menyesal. Tolong kembalikan putraku kepadaku!”
Aku mematikan televisi saat itu. Emosiku campur aduk karena tak pernah sebelumnya aku melihat ayahku menangis.
Aku merasa menderita melihat orang tuaku mengalami cobaan seberat itu,
namun di saat yang sama, aku merasa lega. Aku sekarang tahu betapa dalam
ayah dan ibuku mencintaiku.
Hampir empat minggu berlalu dan Dr. Tanner memperlakukanku sebaik
mungkin. Ia meninggalkanku dalam keadaan terborgol sebelum berangkat
kerja, namun kembali saat siang untuk makan siang. Ia juga akan
menikmati makan malam bersamaku, bahkan bermain games bersama-sama.
Namun pada suatu pagi, saat Dr. Tanner membangunkanku, ia tak tampak
seperti biasanya. Wajahnya tampak tegang. Selain itu, aku juga menyadari
bahwa ia membangunkanku tiga jam lebih awal ketimbang biasanya.
“Kamu harus melihat berita hari ini, Nak. Tak ada pengecualian. Aku
ingin kau memperhatikan televisi seharian dan memperhatikannya!” katanya
dengan nada serius.
Tentu tak ada yang bisa kulakukan kecuali melihatnya berjalan keluar ruangan.
Setelah dua jam kemudian, sebuah segmen “Breaking News” memotong sebuah iklan pasta gigi yang kusaksikan. Judulnya.
“JENAZAH DITEMUKAN”
Seorang pembawa acara berwajah tegang ketika ia menyampaikan beritanya.
“Kami dengan sedih memberitakan bahwa pagi ini ditemukan kemajuan dalam kasus penculikan anak sebulan lalu.”
Pembawa berita itu menganggukkan kepalanya dengan sedih sambil membaca kertas-kertas di hadapannya.
“Sisa-sisa jenazah telah ditemukan di dalam kantong sampah di bawah
jembatan tol. Diperkirakan bahwa itu adalah jenazah seorang anak,
walaupun tak banyak yang tersisa untuk bisa benar2 dipastikan. Kepalanya
telah dipenggal sementara sisa-sisa tubuhnya telah dibakar dan hanya
menyisakan abu dan tulang.
Gambar beralih ke helikopter, tampak di bawah jalan raya dengan lusinan
polisi berkumpul di bawah jembatan. Suara sang pembawa berita masih
terdengar,
“Dalam tas polisi menemukan sebuah kartu pelajar berikut ini,”
Layar menunjukkan kartu pelajarku yang selalu kubawa di dalam ranselku.
Plastik pembungkusnya tampak meleleh, namun foto dan namaku masih utuh.
Kamera berganti menunjukkan wajah orang tuaku, diapit dua reporter.
Wajah ibuku tampak menahan kesakitan yang amat dalam sedangkan ayahku
membenamkan kepalanya ke atas kedua lututnya.
Aku mematikan televisi itu.
Dr. Tanner kembali sangat terlambat. Ia segera masuk ke kamarku, membuka borgolku, dan memberikanku sebotol minuman bersoda.
Ia menempatkan kedua tangannya ke pundakku dan tersenyum.
“Aku sudah berjanji kan?”
Aku mengangguk, air mata keluar dari pelupuk mataku.
“Kamu harus berjanji lagi kepadaku,” bisiknya.
Ia mengatakan padaku untuk meminum seluruh isi botol itu – itu akan
membantuku tertidur – dan bahwa aku takkan mengatakan apapun, bahkan
menyangkal pertemuanku dengannya. Aku setuju.
“Sudah kukatakan, aku adalah psikolog sekolah terbaik di dunia, ya kan?”
Dan ia memang benar.
Aku terbangun malam itu, menemukan diriku terbaring di atas rumput.
Bintang bersinar dengan cerah di atas langit malam. Aku mengenali bahwa
aku berada di sebuah taman yang tak jauh dari sekolahku.
Aku kemudian mulai berjalan dan menemukan rumahku. Lampu di dalam rumah
padam, namun aku masih bisa melihat bayangan ayahku duduk di tangga di
depan pintu masuk.
Dengan ragu, aku memanggilnya. Ayahku mengangkat kepalanya dengan
perlahan dan begitu melihatku, ia langsung berlari memelukku sambil
meneriakkan namaku. Ibuku melakukan hal yang sama begitu keluar dari
dalam rumah.
Dr. Tanner benar. Segalanya berubah menjadi lebih baik semenjak itu.
Orang tuaku tersenyum setiap saat dan memperlakukanku penuh kasih
sayang. Aku tak bisa meminta akhir yang lebih bahagia dari ini.
Sejak hari itu, aku masih sering melihat Dr. Tanner di sekolahku. Kami
jarang berbicara, bahkan untuk bertukar pandangan sekalipun. Namun
kadang kala, ia akan tersenyum ke arahku.
Aku selalu memegang janjiku padanya dan berpura-pura tak pernah bertemu
dengannya. Namun ada satu pertanyaan yang selamanya akan selalu
terngiang dalam benakku.
Siapa anak yang Dr. Tanner penggal?
Great post...Sukses untukmu ya...
ReplyDeleteKontraktor Pameran
Jasa Pembuatan Booth
Kontraktor Booth Pameran
Jasa Pembuatan Booth Pameran
Jasa Dekorasi Booth Pameran